Teori Belajar Konstruktivisme
1. Teori
Konstruktivisme
Salah satu prinsip yang terpenting dari psikologi pendidikan adalah guru
tidak semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus dapat
membangun pengetahuan didalam benaknya. Peran guru disini adalah sebagai
menciptakan cara mengajar yang mampu membuat informasi yang disampaikan menjadi
lebih bermakna dan relevan bagi siswa untuk menuangkan ide-idenya. Intinya guru
sebagai motivator dalam pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan diatas, sebenarnya sudah terjadi revolusi di dalam
psikologi pendidikan. revolosi itu terjadi karena telah munculnya teori
konstruktivistik. Menurut Brooks dalam Slavin (2000:256) mengatakan “’ the
essence of contructivist theory is the idea that learners must individually
discover and transform complek information if they are to make it their
own.
Menurut Von Glasersfeld dalam Suparno (1997)
“Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita konstruksi (bentukan) kita sendiri’. Hal ini berarti bahwa
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan
merupakan akibat dari suatu kunstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Dalam kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita
peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer
pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
Menurut Slavin (2000:256) contructivist theories
of learning, theories that state that state that learners must individually
discover and transform complekkx information, cheking new information against
old rules and revising rules when they no longer work.
Jadi teori konstruktivis adalah teori yang menyatakan
bahwa perolehan pengetahuan atas bentukan sendiri dari pebelajar untuk menjadi
miliknya dan mentransfer informasi secara komplek menjadi sederhana bermakna,
agar menjadi miliknya sendiri
2.
Sejarah Kontruktivisme
Konstruktivis lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky
dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam memahami informasi-informasi baru.
Pembelajaran sosial ide-ide konstruktivis modern
banyak berlandaskan pada teori Vygotsky. Menurut Karpov dan Bransford dalam
Slavin (2000) yang digunkakan dalam menunjang metode pengajaran yang menekankan
pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan.
Empat kunci yang diturunkan dari teori ini adalah
pertama, penekanannya pada hakikat sosial dari pembelajaran yaitu siswa belajar
melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Kedua,
zona perkembangan terdekat atau zone of proximal development yaitu bahwa
siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona
perkembangan terdekat mereka. ketiga, pemagangan kognitif atau cognitife
apprenticeship yaitu proses dimana seseorang tahap demi tahap
berkesepakatan dalam belajar dengan seseorang apakah seorang yang dewasa atau
teman sebaya yang lebih tinggi. Dan yang keempat adalah scaffolding atau
mediated learning yaitu siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks
sulit, dan realistic dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk
menyelesaikan tugasnya .
3. Prinsip dan
karakteristik Belajar Konstruktivis
Dalam teori belajar konstruktivistik (Brooks, 1990. Slavin,2000)
ciri khas belajar kontruktivis adalah pebelajar harus secara individual
menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi sederhana bermakna, agar
menjadi miliknya sendiri. Teori ini berpendapat bahwa pebelajar selalu
membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain jika tidak cocok
ia berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skemanya. Jadi pebelajar
bersifat konstruktif, artinya membangun makna, pemahaman dari bermacam-macam
informasi pengertian konstruktif dapat digambarkan sebagai proses berpikir pada
saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu,
kegiatan tersebut melibatkan eksplorasi, eksperimentasi, kreatifitas,
ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerjasama. Pandangan ini mempunyai implementasi
yang sangat besar untuk pembelajaran karena mendorong pebelajar berperan lebih
aktif dalam belajarnya.
Suparno (1997) mengidentifikasi 4 prinsip
kontruktivis dalam belajar yakni sebagai berikut; (1) pengetahuan dibangun oleh
mahasiswa sendiri baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak
dapat dipindahkanb dari pebelajar kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan
mahasiswa itu sendiri untuk menalar, (3) pengajar sekedar membantu pebelajar
dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pebelajar
berlangsung secara efektif dan efisien.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam
proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan pebelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar
berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi
Sedangkan Slavin (1997) mengidentifikasi 4
karakteristik belajar dengan pendekatan konstruksi yaitu : (1) Proses Top-Down,
yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk
dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru)
ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat
diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar
tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca. (2) pembelajaran kooperatif yaitu
siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya. (3) Generative
learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun
apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi
mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman
mereka. (4) pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk
diri mereka sendiri.
4. Pembelajaran Menurut Konsep Kontruktivisme
Menurut konsep kontruktivisme, pengetahuan seseorang
bersifat temporer, terus berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan
budaya. Pengetahuan itu tidak pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam
diri seseorang terbentuk ketika seseorang mengalami tempaan kognitif. Melalui
persepektif ini belajar dapat dipahami sebagai proses terbentuknya konflik
kognitif yang bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang
bersangkutan memperoleh pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan kegiatan
melakukan refleksi.
Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma
konstruktivisme didalam kelas kemudian mendiskripsikan prinsip-prinsip
pembelajaran berdasarkan paradigma tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika
memberikan pengantarnya untuk buku berjudul “ In Search of Understanding the
Case for Contructivist Classroom” karya Grennon Brooks dan Brooks
(1993) mengformulasikan 5 prinsip belajar menurut paradigma konstruktivisme
yang satu dengan yang lain berjalin berkelindan, yaitu: (1) menghadapkan
peserta didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat struktur
pembelajaran lewat konsep pokok dan disekitar pikiran dasarnya; (3) mendorong
dan menghargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik ; (4)
kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5)
selalu menilai kemajuan peserta didik melalui konteks pembelajaran. Kelima
prinsip akan menjadi subur didalam kelas apabila guru dengan iklas menerima dan
mendorong tumbuhnya otonomi dalam diri siswa, data mentah hasil belajar dan
sumber utama rekaman hasil belajar lainnya dijadikan dasar untuk meneliti
kemajuan belajar siswa. Kelas akan menjadi hidup dan suasana kelas
kontruktivisme akan mendapatkan lahan yang subur apabila guru menerima dengan
lapang dada terbuka dan memberikan tempat terhadap munculnya pikiran siswa, rasa
ingin tahu, keinginan meneliti, dialog guru siswa dan siswa-siswa, serta
keberanian mempersoalkan sesuatu yang belum jelas.
Driver dan Oldham dalam suparno (1997) menyatakan
beberapa ciri mengajar kontruktivis, sebagai berikut :
- Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
- Elicitasi, murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster.
- Restrukrisasi ide. Dalam hal ini ada 3 hal yaitu; (1) klasifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain/ teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk mengkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok ; (2) membangun ide baru, ini terjadi bila dlam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan teman.;(3) mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen, kalau dimungkinkan ada baiknya gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan percobaan atau persoalan yang baru.
- Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam banyak situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap, bahkan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.
- Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah sesuatu, atau mengubahnya menjadi lebih lengkap.
5. Model
Pembelajaran dengan Pendekatan Kontruktivis
Model pembelajaran yang di kembangkan dengan
pendekatan Konstruktivistik adalah Model pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem
based Learning ). Dan pembelajaran kooperatif (cooperative learning).Model
pembelajaran ini mencakup pendekatan pembelajaran luas, dan menyeluruh (Areunds
,1997;7)
Model problem based learning meliputi
kelompok–kelompok belajar pembelajaran. Bekerjasama memecahkan suatu masalah
yang telah di sepakati bersama. Pebelajar menggunakan bermacam-macam
keterampilan dan prosedur, pemecahan masalah dan berfikir kritis, dengan
demikian modal pembelajaran yang di kembangkan menggunakan sejumlah
keterampilan metodologi dan posedural seperti merumuskan masalah, mengemukakan
pertanyaan , melakukan penelitian , berdiskusi dan memperdebatkan temuan,
bekerja secara kolaboratif , menciptakan suatu karya ,dan melakukan presentasi.
Beberapa alasan yang di jadikan pijakan dalam
mengembangkan model pembelajaran ini, yakni (1) rasional, teorik yang logis
yang di susun oleh para pengembang (2) landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana pebelajar belajar (3) tingkah laku mengajar yang di perlukan agar
tujuan pebelajaran dapat tercapai. Dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan
agar tujuan pembelajaran tercapai.
Karakteristik pengembangan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM)
dan pembelajaan kooperatif (PK).
Tabel 2
Perbedaan pembelajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif
Ciri-ciri
|
Pembelajaran
berdasarkan masalah
|
Pembelajaran
kooperatif
|
Landasan
teori
|
Teori
belajar kognitif, teori kontruktivis
|
Teori
belajar Sosial, Teori Kontruktivis
|
Pengembang
Teori
|
Dewey,
Vygotsky, Piaget
|
Dewey,
vygotsky, Slavin, Piaget
|
Hasil
Belajar
|
Ketrampilan
akademik dan inkuiri
|
Ketrampilan
akademik dan sosial
|
Ciri
Pembelajaran
|
Proyek
berdasarkan inkuiri yang dikerjakan dalam kelompok/ individu
|
Fleksibel,
demokratis berpusat pada pebelajar
|
Berdasarkan tabel tersebut model pembelajaran berdasarkan masalah dan
pembelajaran kooperatif dilandasi teori belajar kontruktivisme :
- Berpandangan bahwa pembelajaran perlu dimulai dari permasalahan nyata yang pemecahannya memerlukan kerjasama kolaborasi diantara pebelajar.
- memandang peran pebelajar sebagai pemandu pebelajar dalam merinci rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan oleh pebelajar .
- kemudian memandu bagaimana menggunakan keterampilan dan strategi yang diperlukan agar tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan .
- bergantung pada mempertahankan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan.
a. Pembelajaran berdasarkan masalah (problem
based learning)
Menurut Resick dan Glaser dalam Bell gredler
(1991:257) masalah dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tugasnya yang tidak ditemukannya diwaktu sebelumnya. Masalah pada
umumnya timbul karena adanya kebutuhan untuk memenuhi atau mendekatkan
kesenjangan antara kondisi nyata dengan kondisi yang seharusnya.
Pemecahan masalah adalah suatu proses menemukan suatu
respon yang tepat terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi
pemecahan masalah. Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu bentuk
kemampuan tingkat tinggi dan hierarki belajar (Dahar. 1988). Dalam pengembangan
pembelajaran ini pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses atau
upaya untuk mendapatkan suatu penyeleseian tugas atau situasi yang benar-benar
sebagai masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui.
Model pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areund
(1997:157) penggunaannya didalam pengembangan tingkat berpikir yang lebih
tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah termasuk pembelajaran
bagaimana belajar. Model pembelajaran ini juga mengacu kepada pembelajaran
–pembelajaran lain. Seperti pengajaran berdasarkan proyek (proyek base
Instruction). Pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience base
instruction), pembelajaran autentik (authentic instruction), dan pembelajaran
bermakna pada pembelajaran ini pebelajar berperan mengajukan permasalahan atau
pertanyaan memberikan dorongan, memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan
fasilitas yang diperlukan pebelajar. Selain itu pebelajar memberikan dukungan
dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual pebelajar.
Pembelajaran ini banyak menumbuhkembangkan kreatifitas
belajar, baik secara individual maupun secara kelompok hampir setiap langkah
menuntut keaktifan pebelajar, sedangkan peranan pebelajar lebih banyak sebagai
stimuli ,membimbing kegiatan pebelajar, dan menentukan arah apa yang harus dilakukan
oleh pebelajar.
Beberapa kelebihan dalam pembelajaran ini adalah;
- Pebelajar lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
- Melibatkan secara aktif memecahkan maslah dan menuntut ketrampilan berfikir pebelajar yang lebih tinggi
- Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki pebelajar sehingga pembelajaran bermakna.
- Pembelajar dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan pebelajar terhadap bahan yang dipelajari.
- Menjadikan pebelajar lebih mandiri dan dewasa mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara pebelajar.
- Pengkondisian pebelajar dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temuannya sehingga pencapaian kesempatan belajar pebelajar dapat diharapkan.
Karakteristik pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areunds Richards
adalah
- Pengajuan pertanyaan / masalah
- Keterkaitan dengan didiplin ilmu lain
- Menyelidiki autentik
- Memamerkan hasil kerja
- Kolaborasi.
Menurut Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase atau langkah. Fase-fase dan
perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil
pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat diwujudkan.
Tabel 3: Sintaks PBM adalah sebagai berikut :
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1 : memberikan
orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik.
|
Pendidik menyampaikan
tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
|
Fase 2 : mengorganisasikan
peserta didik untuk meneliti
|
Pendidik membantu peserta didik
mendefinisikan dan mengoragnisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan
permasalahannya.
|
Fase 3 : membantu
investigasi mandiri dan kelompok
|
Pendidik mendorong peserta
didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan
mencari penjelasan dan solusi.
|
Fase 4 :
mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit
|
Pendidik membantu peserta
didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti
laporan, rekaman video, dan model-model serta membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
|
Fase 5 : menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah
|
Pendidik membantu peserta
didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan.
|
Ibrahim.(2002)
David Johnson and Johnson mengemukakan 5 langkah
strategi PBL melalui kegiatan kelompok :
- Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.
- Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga akhirnya peserta didik dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
- Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
- Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
- Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh proses pelaksanaan kegiatan, evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.(Wina Sanjaya, 2008 : 217-218)
Menurut John
Dewey, penyelesaian masalah dilakukan melalui 6 tahap :
Tabel 4: Tahapan Penyelesaian Masalah
Tahap-tahap
|
Kemampuan yang diperlukan
|
Merumuskan
masalah
|
Mengetahui
dan merumuskan masalah secara jelas
|
Menelaah
masalah
|
Menggunakan
pengetahuan
untuk memperinci, menganalisis masalah dari beberapa sudut.
|
Merumuskan
hipotesis
|
Berimajinasi
dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat, dan alternatif penyelesaian.
|
Mengumpulkan
dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis
|
Kecakapan
mencari dan menyusun data. Menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar, dan
table.
|
Pembuktian
hipotesis
|
Kecakapan
menelaah dan membahas data. Kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung,
ketrampilan mengambil keputusan dan kesimpulan.
|
Menentukan
pilihan penyelesaian
|
Kecakapan
membuat alternative penyelesaian
Kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. |
Berdasarkan pendapat dari ketiga tokoh tersebut, maka dapat di simpulkan
bahwa sintaks strategi pembelajaran berbasis masalah terdiri dari memberikan
orientasi permasalahan kepada peserta didik, mendiagnosis masalah, pendidik
membimbing proses pengumpulan data individu maupun kelompok, mengembangkan dan
menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil.
Strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan melalui kegiatan
individu, tidak hanya melalui kegiatan kelompok. Penerapan ini tergantung pada
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan materi yang akan diajarkan. Apabila
materi yang akan diajarkan dirasa membutuhkan pemikiran yang dalam, maka
sebaiknya pembelajaran dilakukan melalui kegiatan kelompok, begitupula
sebaliknya.
b. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian
Menurut Slavin (2000) Pembelajaran kooperatif atau cooperative
learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam
kelompok kecil. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu dengan
yang lain.
Aktivitas pembelajaran kooperatif dapat memainkan
banyak peran dalam pembelajaran. Didalam satu pelajaran tertentu pembelajaran
kooperatif dapat digunakan untuk tiga tujuan yang berbeda. Misalnya saja dalam
pelajaran matematika para siswa bekerja sebagai kelompok-kelompok yang sedang
berupaya menemukan sesuatu (misalnya saling membantu mengungkap bagaimana
memecahkan soal pecahan), setelah jam pelajaran yang resmi terjadwal itu habis,
siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi. Akhirnya, siswa mendapat
kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah
menguasai segala sesuatu tentang pelajaran tersebut dalam persiapan untuk kuis,
bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
2.
Metode-metode Pembelajaran Kooperatif
Telah dikembangkan dan diteliti berbagai macam metode
pembelajaran kooperatif yang amat berbeda dengan yang lainnya. Metode
pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini diterapkan tipe jigsaw, namun
tidak ada salahnya kita akan membahas beberapa metode pembelajaran kooperatif
lain yang paling ekstensif, dievaluasi dan dideskripsikan adalah sebagai
berikut :
a) Cooperative
Jigsaw, guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kecil yang terdiri
dari 4 – 5 orang siswa dengan kemampuan yang heterogen, yang disebut kelompok
asal atau kelompok induk (home group), sehingga setiap siswa
bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap subtopic yang ditugaskan guru
dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok asal yang
bertanggungjawab terhadap subtopic yang sama berkumpul membentuk kelompok yang
disebut kelompok ahli (expert group), siswa-siswa dalam kelompok ini
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya, dan siswa pada kelompok
ahli membubarkan diri dan kembali ke kelompok asal, maka siswa tersebut sebagai
ahli dalam subtopic bagiannya dan mengajarkan informasi penting dari subtopic
tersebut kepada temannya di kelompok asal.
b)
Student Teams- Achievement Division (STAD), dalam STAD (Slavin,
2000), siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang ( tidak
terlalu besar). Guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam tim
mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggotanya menguasai pelajaran itu.
Selanjutnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu, pada waktu kuis ini
mereka tidak boleh saling bantu. Kontribusi siswa terhadap prestasi kelompok
dinilai dari peningkatan performansi murid itu sendiri tanpa dibandingkan
dengan murid-murud lain.
c)
Team-Games Tournaments (TGT), guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok kecil dan masing-masing kelompok diberi bahan ajar yang sama.
guru juga harus bisa mengkondisikan kelas kedalam suasana berkompetisi.
Kelompok mana yang menyelesaikan tugas dengan baik benar mendapat poin.
Kemenangan kelompok ditentukan oleh besarnya poin yang mereka raih.
d)
Team Assisted Individualization (TAI), kegiatannya hampir sama
dengan STAD. Perbedaannya terletak pada ketidaksamaan bahan pelajarannya pada
masing-masing kelompok.
e)
\Cooperative Integrated Reading and composition (CIRC). CIRC
adalah meliputi program pengajaran membaca dan menulis di sekolah dasar dan
sekolah lanjutan.
3. Langkah-langkah pembelajaran
kooperatif
Menurut Areunds (1997) terdapat enam tahap utama dalam belajar
kooperatif. Keenam tahapan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:
Tahap 1 Pemberian informasi tujuan belajar
Tahap2 Analisis masalah guna mencapai maksud pembelajaran sebagaimana
dimaksud tahap 1 dalam hal ini pembelajar dapat mengunakan metode demonstrasi
Tahap 3 Pembentukan atau mengatur pembelajar dalam team belajar
Tahap 4 Team belajar bekerja/ melakukan belajar secara kooperatif
Tahap 5 Penyajian hasil kerja team/ unjuk kerja team
Tahap 6 Pemberian masukan dan penghargaan atas prestasi dan usaha individual
maupun kelompok.
Menurut Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi
pembelajaran kooperatif terdiri dari 6 fase atau langkah.
Tabel 5:
Sintaks / Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1
: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Pendidik
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2
: menyajikan informasi
|
Pendidik
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi/presentasi
menggunakan multimedia atau lewat worksheet/LKS yang dibagikan.
|
Fase 3
: mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
|
Pendidik
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok-kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4
: membimbing kelompok bekerja
|
Pendidik
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
|
Fase 5
: Evaluasi
|
Pendidik
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Fase 6
: memberikan penghargaan
|
Pendidik
mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
|
|
|
Ibrahim.(2002)
Berdasarkan tahapan ini nampak bahwa dalam
pembelajaran kooperatif pembelajar bekerja sama dan saling mempunyai
ketergantungan pada tugas-tugas tujuan dan tingkat keberhasilan belajarnya.
Dengan demikian peran pembelajar dalam pembelajaran
kooperatif jelas berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional, dalam
pembelajaran kelompok tradisional, pembelajar masih dominan dalam pemberian
informasi kepada pembelajar yang dalam hal ini cenderung membentuk komunikasi
satu arah. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kooperatif, pada
pembelajaran kooperatif pembelajar lebih bersifat mengamati pebelajar dengan
seksama, pembelajar cenderung sebagai pengelola konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Areunds
Richards 1997. Classroom Instruction
and Managemen. New York
;MC
Grew-Hiil’’
Bell Gredler,
Margaret E. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:CV.
Rajawali
Brooks J.G.
dan Brooks M.G. 1993. In reseach of Understanding The Case of
Instrusional Classroom. Alexandria. Virginia:
AECO.
Dahar, Ratna
Willis. 1988. Teori-Teori Belajar.Jakarta : Erlangga
Dimyati,
Mohamad. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Ibrahim, dkk.
2002. Pembelajaran Kooperatif. University Press: Surabaya
Slavin, Robert
E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:
Allyn
Bacon
Slavin, Robert
E. 1997. Cooperative learning jigsaw: Theory, Research, and
Practice(second
edition). USA; Allyn Bacon
Suparno, Paul.
1997. Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Suharno, N.
(1991). Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan
Masalah
Penerapan di Bidang Akuntansi: Desertasi PPS IKIP Malang
1. Teori
Konstruktivisme
Salah satu prinsip yang terpenting dari psikologi pendidikan adalah guru
tidak semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus dapat
membangun pengetahuan didalam benaknya. Peran guru disini adalah sebagai
menciptakan cara mengajar yang mampu membuat informasi yang disampaikan menjadi
lebih bermakna dan relevan bagi siswa untuk menuangkan ide-idenya. Intinya guru
sebagai motivator dalam pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan diatas, sebenarnya sudah terjadi revolusi di dalam
psikologi pendidikan. revolosi itu terjadi karena telah munculnya teori
konstruktivistik. Menurut Brooks dalam Slavin (2000:256) mengatakan “’ the
essence of contructivist theory is the idea that learners must individually
discover and transform complek information if they are to make it their
own.
Menurut Von Glasersfeld dalam Suparno (1997)
“Kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita konstruksi (bentukan) kita sendiri’. Hal ini berarti bahwa
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan
merupakan akibat dari suatu kunstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan
seseorang. Dalam kontruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita
peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan
transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
Menurut Slavin (2000:256) contructivist theories
of learning, theories that state that state that learners must individually
discover and transform complekkx information, cheking new information against
old rules and revising rules when they no longer work.
Jadi teori konstruktivis adalah teori yang menyatakan
bahwa perolehan pengetahuan atas bentukan sendiri dari pebelajar untuk menjadi
miliknya dan mentransfer informasi secara komplek menjadi sederhana bermakna,
agar menjadi miliknya sendiri
2.
Sejarah Kontruktivisme
Konstruktivis lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky
dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika
konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam memahami informasi-informasi baru.
Pembelajaran sosial ide-ide konstruktivis modern
banyak berlandaskan pada teori Vygotsky. Menurut Karpov dan Bransford dalam
Slavin (2000) yang digunkakan dalam menunjang metode pengajaran yang menekankan
pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan.
Empat kunci yang diturunkan dari teori ini adalah
pertama, penekanannya pada hakikat sosial dari pembelajaran yaitu siswa belajar
melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Kedua,
zona perkembangan terdekat atau zone of proximal development yaitu bahwa
siswa belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona
perkembangan terdekat mereka. ketiga, pemagangan kognitif atau cognitife
apprenticeship yaitu proses dimana seseorang tahap demi tahap
berkesepakatan dalam belajar dengan seseorang apakah seorang yang dewasa atau
teman sebaya yang lebih tinggi. Dan yang keempat adalah scaffolding atau
mediated learning yaitu siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks
sulit, dan realistic dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk
menyelesaikan tugasnya .
3. Prinsip dan
karakteristik Belajar Konstruktivis
Dalam teori belajar konstruktivistik (Brooks, 1990.
Slavin,2000) ciri khas belajar kontruktivis adalah pebelajar harus secara
individual menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi sederhana
bermakna, agar menjadi miliknya sendiri. Teori ini berpendapat bahwa pebelajar
selalu membandingkan informasi yang satu dengan informasi yang lain jika tidak
cocok ia berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skemanya. Jadi pebelajar
bersifat konstruktif, artinya membangun makna, pemahaman dari bermacam-macam
informasi pengertian konstruktif dapat digambarkan sebagai proses berpikir pada
saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu,
kegiatan tersebut melibatkan eksplorasi, eksperimentasi, kreatifitas,
ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerjasama. Pandangan ini mempunyai
implementasi yang sangat besar untuk pembelajaran karena mendorong pebelajar
berperan lebih aktif dalam belajarnya.
Suparno (1997) mengidentifikasi 4 prinsip
kontruktivis dalam belajar yakni sebagai berikut; (1) pengetahuan dibangun oleh
mahasiswa sendiri baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak
dapat dipindahkanb dari pebelajar kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan
mahasiswa itu sendiri untuk menalar, (3) pengajar sekedar membantu pebelajar
dengan menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pebelajar berlangsung
secara efektif dan efisien.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam
proses pembelajaran diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan pebelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar
berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat
makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi
Sedangkan Slavin (1997) mengidentifikasi 4
karakteristik belajar dengan pendekatan konstruksi yaitu : (1) Proses Top-Down,
yang berarti bahwa siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk
dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru)
ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat
diminta untuk menuliskan suatu susunan kalimat, dan baru kemudian belajar
tentang mengeja, tata bahasa, dan tanda baca. (2) pembelajaran kooperatif yaitu
siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya. (3) Generative
learning (pembelajaran generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun
apabila kita menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi
mental dengan informasi itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman
mereka. (4) pembelajaran dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
melakukan percobaan yang mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk
diri mereka sendiri.
4. Pembelajaran Menurut Konsep Kontruktivisme
Menurut konsep kontruktivisme, pengetahuan seseorang
bersifat temporer, terus berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan
budaya. Pengetahuan itu tidak pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam
diri seseorang terbentuk ketika seseorang mengalami tempaan kognitif. Melalui
persepektif ini belajar dapat dipahami sebagai proses terbentuknya konflik
kognitif yang bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang
bersangkutan memperoleh pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan kegiatan
melakukan refleksi.
Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma
konstruktivisme didalam kelas kemudian mendiskripsikan prinsip-prinsip
pembelajaran berdasarkan paradigma tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika
memberikan pengantarnya untuk buku berjudul “ In Search of Understanding the
Case for Contructivist Classroom” karya Grennon Brooks dan Brooks
(1993) mengformulasikan 5 prinsip belajar menurut paradigma konstruktivisme
yang satu dengan yang lain berjalin berkelindan, yaitu: (1) menghadapkan
peserta didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat struktur
pembelajaran lewat konsep pokok dan disekitar pikiran dasarnya; (3) mendorong
dan menghargai munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik ; (4)
kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5)
selalu menilai kemajuan peserta didik melalui konteks pembelajaran. Kelima
prinsip akan menjadi subur didalam kelas apabila guru dengan iklas menerima dan
mendorong tumbuhnya otonomi dalam diri siswa, data mentah hasil belajar dan
sumber utama rekaman hasil belajar lainnya dijadikan dasar untuk meneliti
kemajuan belajar siswa. Kelas akan menjadi hidup dan suasana kelas
kontruktivisme akan mendapatkan lahan yang subur apabila guru menerima dengan
lapang dada terbuka dan memberikan tempat terhadap munculnya pikiran siswa,
rasa ingin tahu, keinginan meneliti, dialog guru siswa dan siswa-siswa, serta
keberanian mempersoalkan sesuatu yang belum jelas.
Driver dan Oldham dalam suparno (1997) menyatakan
beberapa ciri mengajar kontruktivis, sebagai berikut :
- Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
- Elicitasi, murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster.
- Restrukrisasi ide. Dalam hal ini ada 3 hal yaitu; (1) klasifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain/ teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk mengkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok ; (2) membangun ide baru, ini terjadi bila dlam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan teman.;(3) mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen, kalau dimungkinkan ada baiknya gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan percobaan atau persoalan yang baru.
- Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam banyak situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap, bahkan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.
- Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah sesuatu, atau mengubahnya menjadi lebih lengkap.
5. Model
Pembelajaran dengan Pendekatan Kontruktivis
Model pembelajaran yang di kembangkan dengan pendekatan
Konstruktivistik adalah Model pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem
based Learning ). Dan pembelajaran kooperatif (cooperative learning).Model
pembelajaran ini mencakup pendekatan pembelajaran luas, dan menyeluruh (Areunds
,1997;7)
Model problem based learning meliputi
kelompok–kelompok belajar pembelajaran. Bekerjasama memecahkan suatu masalah
yang telah di sepakati bersama. Pebelajar menggunakan bermacam-macam
keterampilan dan prosedur, pemecahan masalah dan berfikir kritis, dengan
demikian modal pembelajaran yang di kembangkan menggunakan sejumlah
keterampilan metodologi dan posedural seperti merumuskan masalah, mengemukakan
pertanyaan , melakukan penelitian , berdiskusi dan memperdebatkan temuan,
bekerja secara kolaboratif , menciptakan suatu karya ,dan melakukan presentasi.
Beberapa alasan yang di jadikan pijakan dalam
mengembangkan model pembelajaran ini, yakni (1) rasional, teorik yang logis
yang di susun oleh para pengembang (2) landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana pebelajar belajar (3) tingkah laku mengajar yang di perlukan agar
tujuan pebelajaran dapat tercapai. Dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan
agar tujuan pembelajaran tercapai.
Karakteristik pengembangan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM)
dan pembelajaan kooperatif (PK).
Tabel 2
Perbedaan pembelajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif
Ciri-ciri
|
Pembelajaran
berdasarkan masalah
|
Pembelajaran
kooperatif
|
Landasan
teori
|
Teori
belajar kognitif, teori kontruktivis
|
Teori
belajar Sosial, Teori Kontruktivis
|
Pengembang
Teori
|
Dewey,
Vygotsky, Piaget
|
Dewey,
vygotsky, Slavin, Piaget
|
Hasil
Belajar
|
Ketrampilan
akademik dan inkuiri
|
Ketrampilan
akademik dan sosial
|
Ciri
Pembelajaran
|
Proyek
berdasarkan inkuiri yang dikerjakan dalam kelompok/ individu
|
Fleksibel,
demokratis berpusat pada pebelajar
|
Berdasarkan tabel tersebut model pembelajaran berdasarkan masalah dan
pembelajaran kooperatif dilandasi teori belajar kontruktivisme :
- Berpandangan bahwa pembelajaran perlu dimulai dari permasalahan nyata yang pemecahannya memerlukan kerjasama kolaborasi diantara pebelajar.
- memandang peran pebelajar sebagai pemandu pebelajar dalam merinci rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan oleh pebelajar .
- kemudian memandu bagaimana menggunakan keterampilan dan strategi yang diperlukan agar tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan .
- bergantung pada mempertahankan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan.
a. Pembelajaran berdasarkan masalah (problem
based learning)
Menurut Resick dan Glaser dalam Bell gredler
(1991:257) masalah dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tugasnya yang tidak ditemukannya diwaktu sebelumnya. Masalah pada
umumnya timbul karena adanya kebutuhan untuk memenuhi atau mendekatkan
kesenjangan antara kondisi nyata dengan kondisi yang seharusnya.
Pemecahan masalah adalah suatu proses menemukan suatu
respon yang tepat terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi
pemecahan masalah. Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu bentuk
kemampuan tingkat tinggi dan hierarki belajar (Dahar. 1988). Dalam pengembangan
pembelajaran ini pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses atau
upaya untuk mendapatkan suatu penyeleseian tugas atau situasi yang benar-benar
sebagai masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui.
Model pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areund
(1997:157) penggunaannya didalam pengembangan tingkat berpikir yang lebih
tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah termasuk pembelajaran
bagaimana belajar. Model pembelajaran ini juga mengacu kepada pembelajaran
–pembelajaran lain. Seperti pengajaran berdasarkan proyek (proyek base
Instruction). Pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience base
instruction), pembelajaran autentik (authentic instruction), dan pembelajaran
bermakna pada pembelajaran ini pebelajar berperan mengajukan permasalahan atau
pertanyaan memberikan dorongan, memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan
fasilitas yang diperlukan pebelajar. Selain itu pebelajar memberikan dukungan
dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual pebelajar.
Pembelajaran ini banyak menumbuhkembangkan kreatifitas
belajar, baik secara individual maupun secara kelompok hampir setiap langkah
menuntut keaktifan pebelajar, sedangkan peranan pebelajar lebih banyak sebagai
stimuli ,membimbing kegiatan pebelajar, dan menentukan arah apa yang harus
dilakukan oleh pebelajar.
Beberapa kelebihan dalam pembelajaran ini adalah;
- Pebelajar lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
- Melibatkan secara aktif memecahkan maslah dan menuntut ketrampilan berfikir pebelajar yang lebih tinggi
- Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki pebelajar sehingga pembelajaran bermakna.
- Pembelajar dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan pebelajar terhadap bahan yang dipelajari.
- Menjadikan pebelajar lebih mandiri dan dewasa mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara pebelajar.
- Pengkondisian pebelajar dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temuannya sehingga pencapaian kesempatan belajar pebelajar dapat diharapkan.
Karakteristik pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areunds Richards
adalah
- Pengajuan pertanyaan / masalah
- Keterkaitan dengan didiplin ilmu lain
- Menyelidiki autentik
- Memamerkan hasil kerja
- Kolaborasi.
Menurut Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase atau langkah. Fase-fase dan
perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil
pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat diwujudkan.
Tabel 3: Sintaks PBM adalah sebagai berikut :
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1 : memberikan
orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik.
|
Pendidik menyampaikan
tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
|
Fase 2 : mengorganisasikan
peserta didik untuk meneliti
|
Pendidik membantu peserta
didik mendefinisikan dan mengoragnisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan
permasalahannya.
|
Fase 3 : membantu
investigasi mandiri dan kelompok
|
Pendidik mendorong peserta
didik untuk mendapatkan informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan
mencari penjelasan dan solusi.
|
Fase 4 :
mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit
|
Pendidik membantu peserta
didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti
laporan, rekaman video, dan model-model serta membantu mereka untuk
menyampaikannya kepada orang lain.
|
Fase 5 : menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah
|
Pendidik membantu peserta
didik melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan.
|
Ibrahim.(2002)
David Johnson and Johnson mengemukakan 5 langkah
strategi PBL melalui kegiatan kelompok :
- Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.
- Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga akhirnya peserta didik dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
- Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
- Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
- Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh proses pelaksanaan kegiatan, evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.(Wina Sanjaya, 2008 : 217-218)
Menurut John
Dewey, penyelesaian masalah dilakukan melalui 6 tahap :
Tabel 4: Tahapan Penyelesaian Masalah
Tahap-tahap
|
Kemampuan yang diperlukan
|
Merumuskan
masalah
|
Mengetahui
dan merumuskan masalah secara jelas
|
Menelaah
masalah
|
Menggunakan
pengetahuan
untuk memperinci, menganalisis masalah dari beberapa sudut.
|
Merumuskan
hipotesis
|
Berimajinasi
dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat, dan alternatif penyelesaian.
|
Mengumpulkan
dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis
|
Kecakapan
mencari dan menyusun data. Menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar, dan
table.
|
Pembuktian
hipotesis
|
Kecakapan
menelaah dan membahas data. Kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung,
ketrampilan mengambil keputusan dan kesimpulan.
|
Menentukan
pilihan penyelesaian
|
Kecakapan
membuat alternative penyelesaian
Kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. |
Berdasarkan pendapat dari ketiga tokoh tersebut, maka dapat di simpulkan
bahwa sintaks strategi pembelajaran berbasis masalah terdiri dari memberikan
orientasi permasalahan kepada peserta didik, mendiagnosis masalah, pendidik
membimbing proses pengumpulan data individu maupun kelompok, mengembangkan dan
menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil.
Strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan melalui kegiatan
individu, tidak hanya melalui kegiatan kelompok. Penerapan ini tergantung pada
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dan materi yang akan diajarkan. Apabila
materi yang akan diajarkan dirasa membutuhkan pemikiran yang dalam, maka
sebaiknya pembelajaran dilakukan melalui kegiatan kelompok, begitupula
sebaliknya.
b. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian
Menurut Slavin (2000) Pembelajaran kooperatif atau cooperative
learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama dalam
kelompok kecil. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu dengan
yang lain.
Aktivitas pembelajaran kooperatif dapat memainkan
banyak peran dalam pembelajaran. Didalam satu pelajaran tertentu pembelajaran
kooperatif dapat digunakan untuk tiga tujuan yang berbeda. Misalnya saja dalam
pelajaran matematika para siswa bekerja sebagai kelompok-kelompok yang sedang
berupaya menemukan sesuatu (misalnya saling membantu mengungkap bagaimana
memecahkan soal pecahan), setelah jam pelajaran yang resmi terjadwal itu habis,
siswa dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi. Akhirnya, siswa mendapat
kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah
menguasai segala sesuatu tentang pelajaran tersebut dalam persiapan untuk kuis,
bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
2.
Metode-metode Pembelajaran Kooperatif
Telah dikembangkan dan diteliti berbagai macam metode
pembelajaran kooperatif yang amat berbeda dengan yang lainnya. Metode
pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini diterapkan tipe jigsaw, namun
tidak ada salahnya kita akan membahas beberapa metode pembelajaran kooperatif
lain yang paling ekstensif, dievaluasi dan dideskripsikan adalah sebagai
berikut :
a) Cooperative
Jigsaw, guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kecil yang terdiri
dari 4 – 5 orang siswa dengan kemampuan yang heterogen, yang disebut kelompok
asal atau kelompok induk (home group), sehingga setiap siswa
bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap subtopic yang ditugaskan guru
dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok asal yang
bertanggungjawab terhadap subtopic yang sama berkumpul membentuk kelompok yang
disebut kelompok ahli (expert group), siswa-siswa dalam kelompok ini
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya, dan siswa pada kelompok
ahli membubarkan diri dan kembali ke kelompok asal, maka siswa tersebut sebagai
ahli dalam subtopic bagiannya dan mengajarkan informasi penting dari subtopic
tersebut kepada temannya di kelompok asal.
b)
Student Teams- Achievement Division (STAD), dalam STAD (Slavin,
2000), siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang ( tidak
terlalu besar). Guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam tim
mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggotanya menguasai pelajaran itu.
Selanjutnya seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu, pada waktu kuis ini
mereka tidak boleh saling bantu. Kontribusi siswa terhadap prestasi kelompok
dinilai dari peningkatan performansi murid itu sendiri tanpa dibandingkan
dengan murid-murud lain.
c)
Team-Games Tournaments (TGT), guru membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok kecil dan masing-masing kelompok diberi bahan ajar yang sama.
guru juga harus bisa mengkondisikan kelas kedalam suasana berkompetisi.
Kelompok mana yang menyelesaikan tugas dengan baik benar mendapat poin.
Kemenangan kelompok ditentukan oleh besarnya poin yang mereka raih.
d)
Team Assisted Individualization (TAI), kegiatannya hampir sama
dengan STAD. Perbedaannya terletak pada ketidaksamaan bahan pelajarannya pada
masing-masing kelompok.
e)
\Cooperative Integrated Reading and composition (CIRC). CIRC
adalah meliputi program pengajaran membaca dan menulis di sekolah dasar dan
sekolah lanjutan.
3. Langkah-langkah pembelajaran
kooperatif
Menurut Areunds (1997) terdapat enam tahap utama dalam belajar
kooperatif. Keenam tahapan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:
Tahap 1 Pemberian informasi tujuan belajar
Tahap2 Analisis masalah guna mencapai maksud pembelajaran sebagaimana
dimaksud tahap 1 dalam hal ini pembelajar dapat mengunakan metode demonstrasi
Tahap 3 Pembentukan atau mengatur pembelajar dalam team belajar
Tahap 4 Team belajar bekerja/ melakukan belajar secara kooperatif
Tahap 5 Penyajian hasil kerja team/ unjuk kerja team
Tahap 6 Pemberian masukan dan penghargaan atas prestasi dan usaha individual
maupun kelompok.
Menurut Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi
pembelajaran kooperatif terdiri dari 6 fase atau langkah.
Tabel 5:
Sintaks / Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1
: Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Pendidik
menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2
: menyajikan informasi
|
Pendidik
menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi/presentasi
menggunakan multimedia atau lewat worksheet/LKS yang dibagikan.
|
Fase 3
: mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok belajar
|
Pendidik
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok-kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4
: membimbing kelompok bekerja
|
Pendidik
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
|
Fase 5
: Evaluasi
|
Pendidik
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Fase 6
: memberikan penghargaan
|
Pendidik
mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu
dan kelompok.
|
|
|
Ibrahim.(2002)
Berdasarkan tahapan ini nampak bahwa dalam
pembelajaran kooperatif pembelajar bekerja sama dan saling mempunyai
ketergantungan pada tugas-tugas tujuan dan tingkat keberhasilan belajarnya.
Dengan demikian peran pembelajar dalam pembelajaran
kooperatif jelas berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional, dalam
pembelajaran kelompok tradisional, pembelajar masih dominan dalam pemberian
informasi kepada pembelajar yang dalam hal ini cenderung membentuk komunikasi
satu arah. Tidak demikian halnya pada pembelajaran kooperatif, pada
pembelajaran kooperatif pembelajar lebih bersifat mengamati pebelajar dengan
seksama, pembelajar cenderung sebagai pengelola konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Areunds
Richards 1997. Classroom Instruction
and Managemen. New York
;MC
Grew-Hiil’’
Bell Gredler,
Margaret E. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:CV.
Rajawali
Brooks J.G.
dan Brooks M.G. 1993. In reseach of Understanding The Case of
Instrusional Classroom. Alexandria. Virginia:
AECO.
Dahar, Ratna
Willis. 1988. Teori-Teori Belajar.Jakarta : Erlangga
Dimyati,
Mohamad. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Ibrahim, dkk.
2002. Pembelajaran Kooperatif. University Press: Surabaya
Slavin, Robert
E. 2000. Educational Psycology: Theory and Practice. USA:
Allyn
Bacon
Slavin, Robert
E. 1997. Cooperative learning jigsaw: Theory, Research, and
Practice(second
edition). USA; Allyn Bacon
Suparno, Paul.
1997. Filsafat Kontruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Suharno, N.
(1991). Pengembangan Model Pembelajaran Pemecahan
Masalah
Penerapan di Bidang Akuntansi: Desertasi PPS IKIP Malang
terimakasih... infonya
BalasHapus