Rabu, 08 Februari 2012

DWI BAHASA

KEDWIBAHASAAN

I. Pendahuluan

Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan berbahasa seseorang dapat menyampaikan maksud dan tujuan kepada orang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi melalui bahasa memungkinkan seseorang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Trager (dikutip Sibarani, 1992:18) menyatakan, “bahasa adalah sistem simbol-simbol bunyi ujaran yang digunakan anggota masyarakat sebagai alat berinteraksi dengan keseluruhan pola budaya mereka”. Bahasa sebagai sebuah gejala dan kekayaan sosial yang akan terus melaju sejalan dengan perkembangan pemakaiannya. Chaer dan Agustina (2004:15) menyatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan universal. Unik artinya memiliki ciri atau sifat khas yang tidak dimiliki bahasa lain dan universal berarti memiliki ciri yang sama yang ada pada semua bahasa.

Pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari masalah kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasaan berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan).

Sehubungan dengan hal di atas,  penulis akan membahas pengertian kedwibahasaan, pembagian kedwibahasaan, konsep dan kategori pemilihan bahasa, faktor pemilihan bahasa, pendekatan pemilihan bahasa dan cara mengukur kedwibahasaan.

II. Kedwibahasaan

A. Pendapat Para Ahli

Berikut ini pendapat-pendapat tentang pengertian kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut (Chaer dan Agustina, 2004:165—168).

1. Robert Lado

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.

2. Francis William Mackey

Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Hartman dan Stork

Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.

4. Leonard Bloomfield

Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

5. Haugen

Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.

6. Oksaar

Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga Montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.

7. Henry Guntur Tarigan

Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam atau putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Pengertian kedwibahasaan merentang dari ujung yang paling sempurna atau ideal, turun secara berjenjang sampai ke ujung yang paling rendah atau minimal. Pendek kata, pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah mengikuti tuntutan situasi dan kondisi (Tarigan, 1990:7).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.

Perbedaan pengertian mengenai kedwibahasaan disebabkan oleh susahnya menentukan batasan seseorang menjadi dwibahasawan. Dewasa ini kedwibahasaan mencakup pengertian yang luas: dari penguasaan sepenuhnya atas dua bahasa, hingga pengetahuan minimal akan bahasa kedua. Berapa jauh penguasaan seseorang atas bahasa kedua bergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua itu (Alwasilah, 1993:73).

B. Pembagian Kedwibahasaan

Menurut Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut.

1. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.

2. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.

3. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.

Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kedwibahasaan di antaranya adalah (Paul, 2004:235).

4. Baeten Beardsmore

Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.

5. Pohl

Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu sebagai berikut.

a. Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)

Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.

b. Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)

Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.

c. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)

Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.

Menurut Arsenan tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:

1)        Kedwibahasaan produktif (produktif bilingualisme) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualisme) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).

2) Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualisme) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).

1. Diglosia dalam Kedwibahasaan

Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama satu bahasa (yang memungkinkan mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkondisikan dan lebih tinggi, sebagai wacana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tetapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa (Hudson, 1980).

Diglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis, dan bahasa rendah dipakai untuk percakapan sehari-hari (Hartmann & Stork 1972). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect) (Agustina, 2008:5).

2. Parameter Diglosia/Kedwibahasaan

Mackey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.

a) Aspek Tingkat

Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa.

b) Aspek Fungsi

Dapat dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa secara internal, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa.

Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat ditentukan oleh lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekanannya terhadap bidang-bidang tertentu seperti bidang ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain.

c) Aspek Pergantian

Aspek pergantian yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari satu bahasa ke bahasa yang lain ini tergantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.

d) Aspek Interferensi

Aspek interferensi yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa pertama terhadap kegiatan berbahasa.

1. Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa

Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara menggunakan dua bahasa harus memilih bahasa yang digunakan dalam bertutur. Pemilihan bahasa menurut Fasold (dikutip Chaer dan Agustina, 2004:203) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language) dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.

Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode terjadi saat dimana kita beralihdari ragam santai ke ragam formal. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di Indonesia, campur kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Peristiwa alih kode dapat terjadi karena dua faktor utama, yakni faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu.

Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur. Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di Indonesia, Nababan (1993:7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

2. Faktor Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh  berbagai faktor sosial  dan  budaya.  Evin-Tripp  (dikutip Rokhman, 2007:3) mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa  penutur  dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, selamatan kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan lawan tutur. Hubungan dengan lawan tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa fungsi interaksi seperti penawaran, menyampaikan informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Hal ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.

3. Pendekatan Pemilihan Bahasa

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (dikutip Chaer dan Agustina, 1995:205) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Pendekatan sosiologi melihat adanya konteks institutional tertentu (domain) yang terkait dengan dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain informal. Ranah (domain) didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.

Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan.  Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pendek kata, bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.

b) Pendekatan Psikologi Sosial

Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Pendekatan psikologi sosial melihat proses psikologi manusia, seperti motivasi dalam memilih suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu.

Herman (dikutip Rokhman, 2007:7) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman seorang penutur dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis. Herman membicarakan tiga jenis situasi. Situasi pertama berhubungan dengan kebutuhan personal penutur  (personal needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social grouping), yaitu situasi latar belakang (background situation) dan situasi sesaat (immediate situation).

Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada pribadi, yaitu keinginan untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang paling dikuasainya); situasi lain berkaitan dengan norma-norma kelompoknya yang memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa itu mungkin belum dikuasainya secara baik). Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan tetapi juga dari situasi yang lebih besar.

Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara. Hal di atas terjadi ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompoknya sendiri dan membedakan dirinya dari kelompok lawan bicara. Satu contoh yang jelas adalah ketika seorang Amerika kulit hitam yang berbicara  dengan orang berkulit putih dengan menggunakan bahasa Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.

c) Pendekatan Antropologi

Dari  pandangan  antropologi,  pilihan bahasa bertemali  dengan  perilaku  yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah jika psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur. Pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold dikutip Rokhman, 2007:9).

Pendekatan antropo­logi dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur dalam sebuah kelom­pok. Implikasi dari pendekatan ini, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.

1. Cara Mengukur Kedwibahasaan

Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran kedwibahasaan seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan menggunakan indikator tataran kebahasaan (sejalan dengan Mackey). Kelly (1969) menyarankan agar kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara mendeskripsikan kemampuan berbahas seseorang dari masing-masing bahasa dengan menggunakan indikator elemen kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan keterampilan berbahasa.

John MacNawara (1969) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dari aspek tingkat dengan cara memberikan tes kemampuan berbahasa yang menggunakan konsep dasar analisis kesalahan berbahasa. Pengukuran dapat memakai indikator membaca pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan ketatabahasaan, interferensi leksikal B2, pemahaman bahasa lisan, kesalahan fonetis, makna kata dan kekayaan makna.

Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, yaitu Jakobovits (1970) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dengan cara:

1)        menghitung jumlah tanggapan terhadap rangsangan dalam B1,

2)        menghitung jumlah tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1,

3)        menghitung perbedaan total antara B1 dan B2,

4)        menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B1,

5)        menghitung jumlah tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalm B2,

6)        menghitung tanggapan dalam B2 terhadap rangsangan dalam B1,

7)        menghitung jumlah tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B2,

8)        menghitung tanggapan terjemahan terhadap rangsangan dalam B2,

9)        menyatakan hasil dalam bentuk presentase, dan

10)    menghitung tanggapan dua bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika memungkinkan.

Lambert (1955) mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan dengan mengungkapkan dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari kedua bahasa itu yang dominant. Mackey (1968) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan menggunakan tes ketrampilan berbahasa pada masing-masing bahasa. Lambert telah mengembangkan suatu alat untuk mengukur kedwibahasaan dengan mencatat hal-hal berikut (Mar’at, 2005:92).

    Waktu reaksi seseorang terhadap dua bahasa. Bila kecepatan reaksinya sama, maka dianggap sebagai dwibahasaan. Misalnya, dalam menjawab pertanyaan yang sama, tetapi dalam bahasa yang berbeda.
    Kecepatan reaksi dapat diukur pula dari bagaimana seseorang melaksanakan perintah-perintah yang diberikan dalam bahasa yang berbeda
    Kemampuan seseorang melengkapkan suatu perkataan. Misalnya, kepada subjek diberikan kata-kata yang tidak sempurna kemudian ia harus menyempurnakannya.
    Mengukur kecenderungan (preferences) pengucapan secara spontan. Dalam hal ini kepada subjek diberikan suatu perkataan yang sama tulisannya, tetapi berbeda pengucapan dalam dua bahasa. Misalnya, tulisan “nation” harus dibaca dan spontan oleh dwibahasawan Inggris-Perancis. Kemudian dilihat apa yang diucapkannya, “nesian” (Inggris) atau “nesjan” (Perancis).

III. Penutup

Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa, B1 (bahasa daerah) dan B2 (bahasa nasional) atau B1 (bahasa nasional) dan B2 (bahasa asing) dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan itu dimiliki baik secara aktif-produktif maupun secara reseptif apa yang dituturkan orang lain. Pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan terdiri dari kedwibahasaan majemuk, koordinatif/sejajar dan subordinatif/kompleks. Tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Hal ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat.

Kajian pemilihan bahasa bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang peristiwa komunikasi dalam masyarakat dwibahasa di Indonesia. Dalam peristiwa itu keharusan untuk memilih bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi komunikasi tidak dapat dihindari sebab kekeliruan dalam melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi itu. Ada beberapa cara mengukur kemampuan kedwibahasaan seseorang, baik dari waktu dan kecepatan reaksi, serta kecenderungan pemilihan bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar