KEDWIBAHASAAN
I. Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia, karena dengan berbahasa seseorang dapat menyampaikan maksud dan tujuan
kepada orang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat komunikasi yang
digunakan manusia dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain.
Komunikasi melalui bahasa memungkinkan seseorang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Trager (dikutip Sibarani,
1992:18) menyatakan, “bahasa adalah sistem simbol-simbol bunyi ujaran yang
digunakan anggota masyarakat sebagai alat berinteraksi dengan keseluruhan pola
budaya mereka”. Bahasa sebagai sebuah gejala dan kekayaan sosial yang akan
terus melaju sejalan dengan perkembangan pemakaiannya. Chaer dan Agustina
(2004:15) menyatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan universal. Unik artinya
memiliki ciri atau sifat khas yang tidak dimiliki bahasa lain dan universal
berarti memiliki ciri yang sama yang ada pada semua bahasa.
Pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari
masalah kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik
pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian
demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai
dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasaan
berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai
kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya
(disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya
(disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang
yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan), sedangkan
kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan).
Sehubungan dengan hal di atas,
penulis akan membahas pengertian kedwibahasaan, pembagian kedwibahasaan,
konsep dan kategori pemilihan bahasa, faktor pemilihan bahasa, pendekatan
pemilihan bahasa dan cara mengukur kedwibahasaan.
II. Kedwibahasaan
A. Pendapat Para Ahli
Berikut ini pendapat-pendapat tentang pengertian kedwibahasaan oleh para
pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut
(Chaer dan Agustina, 2004:165—168).
1. Robert Lado
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau
hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua
bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2. Francis William Mackey
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.
Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same
individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan
kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal,
semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis.
3. Hartman dan Stork
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau
masyarakat ujaran.
4. Leonard Bloomfield
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama
baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang
sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages.
Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur
asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara umum maka
pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik
secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat.
Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages),
cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus
diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat
dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis
sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di
Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh
warganya, sehingga warga Montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan
murni.
7. Henry Guntur Tarigan
Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam
atau putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Pengertian
kedwibahasaan merentang dari ujung yang paling sempurna atau ideal, turun
secara berjenjang sampai ke ujung yang paling rendah atau minimal. Pendek kata,
pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah mengikuti tuntutan situasi dan
kondisi (Tarigan, 1990:7).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh
seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian
kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara
produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Perbedaan pengertian mengenai kedwibahasaan disebabkan oleh susahnya
menentukan batasan seseorang menjadi dwibahasawan. Dewasa ini kedwibahasaan
mencakup pengertian yang luas: dari penguasaan sepenuhnya atas dua bahasa,
hingga pengetahuan minimal akan bahasa kedua. Berapa jauh penguasaan seseorang
atas bahasa kedua bergantung pada sering tidaknya dia menggunakan bahasa kedua
itu (Alwasilah, 1993:73).
B. Pembagian Kedwibahasaan
Menurut Chaer dan Agustina (2004:170) ada beberapa jenis pembagian
kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut.
1. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu
bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan
ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan.
Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik
oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan
B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai
B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan
situasi yang dihadapi B1, adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan
didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini
dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi
kedwibahasaan di antaranya adalah (Paul, 2004:235).
4. Baeten Beardsmore
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception
bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang
sedang dalam proses menguasai B2.
5. Pohl
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam
masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu sebagai
berikut.
a. Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing
bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun
dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang
berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara
bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan
bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Menurut Arsenan tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia
mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
1) Kedwibahasaan produktif
(produktif bilingualisme) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik
(symmetrical bilingualisme) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu
terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis).
2) Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualisme) atau kedwibahasaan
pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).
1. Diglosia dalam Kedwibahasaan
Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain
dari dialek-dialek utama satu bahasa (yang memungkinkan mencakup satu bahasa
baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda,
sangat terkondisikan dan lebih tinggi, sebagai wacana dalam keseluruhan
kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu
maupun masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal
dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tetapi
tidak dipakai oleh bagian masyarakat apapun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa
(Hudson, 1980).
Diglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa
tinggi dipakai dalam suasana-suasana resmi dan dalam wacana-wacana tertulis,
dan bahasa rendah dipakai untuk percakapan sehari-hari (Hartmann & Stork
1972). Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan
antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku
(standard language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect)
(Agustina, 2008:5).
2. Parameter Diglosia/Kedwibahasaan
Mackey (1956) mengemukakan bahwa pengukuran kedwibahasaan dapat
dilakukan melalui beberapa aspek, yaitu sebagai berikut.
a) Aspek Tingkat
Dapat dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa,
seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa.
b) Aspek Fungsi
Dapat dilakukan melalui kemampian pemakaian dua bahsa yang dimiliki
sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus
diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang menyangkut pemakaian bahasa
secara internal, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar bahasa.
Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan
dengan lamanya waktu kontak seringnya mengadakan kontak bahasa si penutur dapat
ditentukan oleh lamanya waktu kontak, seringnya kontak dan penekanannya
terhadap bidang-bidang tertentu seperti bidang ekonomi, budaya, politik, dan
lain-lain.
c) Aspek Pergantian
Aspek pergantian yaitu pengukuran terhadap seberapa jauh pemakai bahasa
mampu berganti dari satu bahasa kebahasa yang lain. Kemampuan berganti dari
satu bahasa ke bahasa yang lain ini tergantung pada tingkat kelancaran
pemakaian masing-masing bahasa.
d) Aspek Interferensi
Aspek interferensi yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang
disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa
pertama terhadap kegiatan berbahasa.
1. Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa
Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara menggunakan dua bahasa
harus memilih bahasa yang digunakan dalam bertutur. Pemilihan bahasa menurut
Fasold (dikutip Chaer dan Agustina, 2004:203) tidak sesederhana yang kita
bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan (whole language)
dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai
dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya,
seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah
satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam
peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pemilihan.
Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language
variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain
dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan
pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan
satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan
lain dalam satu peristiwa komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode
terjadi saat dimana kita beralihdari ragam santai ke ragam formal. Ketiga,
dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa
tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di Indonesia,
campur kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang yang dicampur
ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Peristiwa alih kode dapat terjadi karena dua faktor utama, yakni faktor
pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur
yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua
menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata
yang tabu.
Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih kode
yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan
metafor yang melambangkan identitas penutur. Campur kode merupakan peristiwa
percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa
tutur. Di Indonesia, Nababan (1993:7) menyebutnya dengan istilah bahasa
gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa
daerah.
2. Faktor Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa
disebabkan oleh berbagai faktor
sosial dan budaya.
Evin-Tripp (dikutip Rokhman,
2007:3) mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan
bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu (1) latar
(waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interaksi, (3) topik percakapan,
dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan
pagi di lingkungan keluarga, rapat di kelurahan, selamatan kelahiran di sebuah
keluarga, kuliah, dan tawar-menawar barang di pasar.
Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan,
status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan lawan tutur.
Hubungan dengan lawan tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor
ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak,
peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat
berupa fungsi interaksi seperti penawaran, menyampaikan informasi, permohonan,
kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).
Dari paparan berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan bahwa
tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa
seseorang. Hal ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur
merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu
masyarakat, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang
menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding faktor partisipan.
3. Pendekatan Pemilihan Bahasa
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (dikutip Chaer dan Agustina,
1995:205) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga
pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
a) Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain).
Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (1964). Pendekatan sosiologi
melihat adanya konteks institutional tertentu (domain) yang terkait dengan
dwibahasa yang terdiri dari domain formal dan domain informal. Ranah (domain)
didefinisikan sebagai konsep sosiokultural yang diabstraksikan dari topik
komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam
keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu
situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh
tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan
pekerjaan. Sebagai contoh, apabila
penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah
topik, maka penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pendek kata,
bahasa rendah (low) yang cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan
bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan
dan pemerintahan.
b) Pendekatan Psikologi Sosial
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih
tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat
luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi
individu, daripada berorientasi pada masyarakat. Pendekatan psikologi sosial
melihat proses psikologi manusia, seperti motivasi dalam memilih suatu bahasa atau
ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu.
Herman (dikutip Rokhman, 2007:7) mengemukakan teori situasi tumpang
tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam pemilihan bahasa. Menurut Herman
seorang penutur dwibahasa berada pada lebih dari satu situasi psikologis.
Herman membicarakan tiga jenis situasi. Situasi pertama berhubungan dengan
kebutuhan personal penutur (personal
needs), kedua situasi lain berhubungan dengan pengelompokkan sosial (social
grouping), yaitu situasi latar belakang (background situation) dan situasi
sesaat (immediate situation).
Pertama, satu situasi yang berkaitan dengan kebutuhan yang ada pada
pribadi, yaitu keinginan untuk berbicara dalam bahasa tertentu (bahasa yang
paling dikuasainya); situasi lain berkaitan dengan norma-norma kelompoknya yang
memungkinkan dia memaksa diri menggunakan bahasa lain (bahasa itu mungkin belum
dikuasainya secara baik). Di sini terjadi konflik antara kebutuhan pribadi dan
tuntutan kelompok. Kedua, dalam penentuan bahasa yang akan digunakan muncul
kekuatan yang tidak hanya dari situasi yang bersemuka (face to face), akan
tetapi juga dari situasi yang lebih besar.
Dengan kata lain, seorang penutur mungkin tidak mengalami kesulitan sama
sekali dalam memilih bahasa atau variasi bahasa untuk menyesuaikan dengan orang
lain, dan ada penutur yang dengan sengaja memilih bahasa atau variasi bahasa
yang tidak sesuai dengan orang yang diajak berbicara. Hal di atas terjadi
ketika penutur ingin menekankan loyalitasnya pada kelompoknya sendiri dan
membedakan dirinya dari kelompok lawan bicara. Satu contoh yang jelas adalah
ketika seorang Amerika kulit hitam yang berbicara dengan orang berkulit putih dengan
menggunakan bahasa Inggris dialek hitam untuk menunjukkan jati dirinya.
c) Pendekatan Antropologi
Dari pandangan antropologi,
pilihan bahasa bertemali
dengan perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya.
Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang
penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah jika
psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur.
Pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan
pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold dikutip
Rokhman, 2007:9).
Pendekatan antropologi dapat memberikan perspektif penjelasan atas
pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur dalam sebuah kelompok.
Implikasi dari pendekatan ini, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen
penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa
dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.
1. Cara Mengukur Kedwibahasaan
Robert Lado (1961) mengemukakan agar dalam pengukuran kedwibahasaan
seseorang dilakukan melalui kemampuan berbahasa dengan menggunakan indikator
tataran kebahasaan (sejalan dengan Mackey). Kelly (1969) menyarankan agar
kedwibahasaan seseorang diukur dengan cara mendeskripsikan kemampuan berbahas
seseorang dari masing-masing bahasa dengan menggunakan indikator elemen
kebahasaan kemudian dikorelasikan untuk menentukan keterampilan berbahasa.
John MacNawara (1969) memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan
dari aspek tingkat dengan cara memberikan tes kemampuan berbahasa yang
menggunakan konsep dasar analisis kesalahan berbahasa. Pengukuran dapat memakai
indikator membaca pemahaman, membaca leksikon, kesalahan ucapan, kesalahan
ketatabahasaan, interferensi leksikal B2, pemahaman bahasa lisan, kesalahan
fonetis, makna kata dan kekayaan makna.
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, yaitu Jakobovits (1970)
memberikan desain teknik pengukuran kedwibahasaan dengan cara:
1) menghitung jumlah tanggapan
terhadap rangsangan dalam B1,
2) menghitung jumlah
tanggapan dalam rangsangan dalam B2 terhadap B1,
3) menghitung perbedaan
total antara B1 dan B2,
4) menghitung jumlah
tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B1,
5) menghitung jumlah tanggapan dalam B2 terhadap
rangsangan dalm B2,
6) menghitung tanggapan
dalam B2 terhadap rangsangan dalam B1,
7) menghitung jumlah
tanggapan dalam B1 terhadap rangsangan dalam B2,
8) menghitung tanggapan
terjemahan terhadap rangsangan dalam B2,
9) menyatakan hasil dalam
bentuk presentase, dan
10) menghitung tanggapan dua
bahasa terhadap rangsangan B1 dan B2 jika memungkinkan.
Lambert (1955) mengajukan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan dengan
mengungkapkan dominasi bahasa, artinya bahasa mana dari kedua bahasa itu yang
dominant. Mackey (1968) memberikan teknik pengukuran kedwibahasaan dengan
menggunakan tes ketrampilan berbahasa pada masing-masing bahasa. Lambert telah
mengembangkan suatu alat untuk mengukur kedwibahasaan dengan mencatat hal-hal
berikut (Mar’at, 2005:92).
Waktu reaksi seseorang
terhadap dua bahasa. Bila kecepatan reaksinya sama, maka dianggap sebagai
dwibahasaan. Misalnya, dalam menjawab pertanyaan yang sama, tetapi dalam bahasa
yang berbeda.
Kecepatan reaksi dapat diukur
pula dari bagaimana seseorang melaksanakan perintah-perintah yang diberikan
dalam bahasa yang berbeda
Kemampuan seseorang melengkapkan
suatu perkataan. Misalnya, kepada subjek diberikan kata-kata yang tidak
sempurna kemudian ia harus menyempurnakannya.
Mengukur kecenderungan
(preferences) pengucapan secara spontan. Dalam hal ini kepada subjek diberikan
suatu perkataan yang sama tulisannya, tetapi berbeda pengucapan dalam dua
bahasa. Misalnya, tulisan “nation” harus dibaca dan spontan oleh dwibahasawan
Inggris-Perancis. Kemudian dilihat apa yang diucapkannya, “nesian” (Inggris)
atau “nesjan” (Perancis).
III. Penutup
Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa, B1 (bahasa
daerah) dan B2 (bahasa nasional) atau B1 (bahasa nasional) dan B2 (bahasa
asing) dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan itu dimiliki baik secara
aktif-produktif maupun secara reseptif apa yang dituturkan orang lain.
Pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan terdiri dari
kedwibahasaan majemuk, koordinatif/sejajar dan subordinatif/kompleks. Tidak
terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Hal
ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor
yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat.
Kajian pemilihan bahasa bermanfaat dalam memberikan wawasan tentang
peristiwa komunikasi dalam masyarakat dwibahasa di Indonesia. Dalam peristiwa
itu keharusan untuk memilih bahasa atau ragam bahasa yang cocok dengan situasi
komunikasi tidak dapat dihindari sebab kekeliruan dalam melakukan pemilihan
bahasa atau ragam bahasa dapat berakibat kerugian bagi peserta komunikasi itu.
Ada beberapa cara mengukur kemampuan kedwibahasaan seseorang, baik dari waktu
dan kecepatan reaksi, serta kecenderungan pemilihan bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar